Oei Hong Djien & Kontroversi Lukisan Palsu: Artikel TEMPO
(Bahasa Indonesia Version)
Pada April 2012, seorang kolektor seni ternama di Indonesia yang dikenal luas di dunia seni rupa Indonesia, Oei Hong Djien—yang biasa disebut OHD—menggelar sebuah pameran bertajuk “Back to Basic” di museum pribadinya, Museum Seni Rupa Oei Hong Djien, yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah.
Pameran tersebut menampilkan berbagai karya dari koleksi pribadi OHD, khususnya Seni Rupa Modern Indonesia dari para seniman besar seperti Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Soedibio, dan lainnya. Malam pembukaan berlangsung meriah, dihadiri oleh banyak pengunjung, termasuk beberapa anggota keluarga dari para seniman yang karyanya ditampilkan, seperti keluarga Soedibio, Hendra Gunawan, serta perwakilan dari keluarga S. Sudjojono.
Suasana yang tadinya meriah perlahan berubah menjadi canggung ketika salah satu istri pelukis maestro mulai meragukan keaslian lukisan yang sedang dipamerkan. Beberapa kolega seniman yang hadir, termasuk para pengamat dan kritikus seni, juga mulai menyuarakan keraguan mereka terhadap beberapa karya yang dipamerkan. Salah satu yang meragukan keasliannya adalah Saitem, istri dari (alm.) Soedibio. Karya yang membuat Saitem ragu adalah lukisan suaminya yang berjudul Wahyu. Pada lukisan tersebut tercantum angka 1981, yang menunjukkan bahwa lukisan itu dibuat pada tahun tersebut.

Lukisan Soedibio, Wahyu (1981)
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia
Saitem cukup terkejut ketika pertama kali melihat lukisan tersebut, karena menurutnya, pada tahun 1981 suaminya sudah dalam keadaan sakit dan akhirnya meninggal pada bulan Desember. Lukisan tersebut juga berukuran sangat besar, sehingga menurutnya tidak mungkin sang suami sanggup menyelesaikan lukisan sebesar itu.
Menurut Saitem, yang saat itu diwawancarai oleh Tempo, pada tahun tersebut suaminya hanya menyelesaikan lima karya berjudul: Semar, Dewi Sri, Gunungan, Ramayana, dan yang terakhir Menuju Nirwana. Semua lukisan itu merupakan pesanan dari kolektor seni bernama Harmonie Jaffar, seorang penggemar karya-karya Soedibio.
Selain Saitem, beberapa keluarga seniman lain yang meragukan keaslian karya-karya yang dipamerkan adalah Tedjabayu, yang merupakan anggota keluarga dari istri pertama almarhum S. Sudjojono, serta Rose Pandanwangi, istri kedua almarhum.
Tedjabayu Sudjojono meragukan keaslian salah satu karya almarhum ayahnya yang dipajang di Museum OHD. Karya berjudul Pangeran Diponegoro tersebut dinilai sangat ganjil dan terkesan digambar secara sembarangan. Menurutnya, tidak mungkin bayonet yang tampak dalam lukisan itu menyerupai bayonet yang digunakan pada masa Perang Dunia II.
Tedjabayu mengingat bahwa ayahnya selalu bekerja berdasarkan riset dan tidak mungkin menggambar secara sembarangan. Bahkan, suatu ketika saat ayahnya melukis ibunya, Mia Bustam, di kawasan Prambanan dengan latar belakang tiang listrik, sang ayah rela bolak-balik ke Prambanan hanya untuk mendapatkan detail tiang listrik yang sedang digambarnya.
Begitu pula dengan Watugunung, anak ketiga S. Sudjojono dari istri pertama, Mia Bustam. Ia merasa sangat janggal ketika melihat lukisan almarhum ayahnya yang berjudul Perjuangan Belum Selesai yang diklaim dibuat pada tahun 1967. Menurutnya, pada tahun tersebut almarhum ayahnya masih sangat trauma dengan apa yang terjadi dalam peristiwa pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia, sehingga tidak mungkin melukis sosok yang sedang mengacungkan sebuah celurit. Periode tersebut justru merupakan masa diam bagi S. Sudjojono. Aminudin T.H. Siregar setuju dengan pendapat Watugunung dan berpendapat bahwa kemungkinan besar lukisan tersebut adalah lukisan palsu.
Ia yakin karena pada lukisan tersebut tertulis, “Djokdjakarta, di sebuah rumah di Bantul.” Senada dengan Watugunung dan Aminudin T.H. Siregar, Ibu Rose Pandanwangi juga menyatakan, “Setelah G-30-S, Sudjojono berdiam diri di Jakarta, bukan di Yogya.”

Lukisan S.Sudjojono, Perdjuangan Belum Selesai (1967)
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia
Menanggapi sanksitersebut, Oei Hong Djien hanya berkata, “Mungkin Sudjojono hanya bernostalgia.” Oei begitu yakin karya tersebut asli karena ia bertanya kepada sahabat terpercayanya, yang juga seorang pelukis di daerah Temanggung bernama Kwee Ing Tjiong, mantan murid S. Sudjojono.
Saat dimintai keterangan oleh pihak Majalah Tempo, Kwee Ing Tjiong hanya menjawab bahwa ia tidak tahu jika lukisan itu palsu. Menurut istri Ing Tjiong, suaminya sedang sakit sehingga ia meminta maaf dan berharap orang mengerti kondisi suaminya. Ing Tjiong tidak ingin salah memberikan tanggapan tentang lukisan tersebut.
Oei juga dikecam karena memberi judul seenaknya pada lukisan yang sebenarnya tidak memiliki judul. Dalam wawancara dengan Tempo, ia mengakui memberi judul Pekarangan Rumah pada lukisan S. Sudjojono, yang menggambarkan suasana pekarangan rumah dengan daun talas, pohon bambu, serta sebuah patung batu berbentuk kepala laki-laki hingga dada. Tedjabayu menanggapi bahwa halaman rumah keluarganya tidak seperti yang tergambar pada lukisan tersebut. Aminudin T.H. Siregar menambahkan bahwa lukisan itu sudah pasti palsu dan curiga bahwa lukisan tersebut meniru dari karya lain almarhum S. Sudjojono yang berjudul In a Village yang dibuat pada tahun 1950.

Lukisan S.Sudjojono, Pekarangan Rumah (1950)
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia
Dalam wawancara lain dengan Majalah Tempo, Ibu Rose Pandanwangi bercerita bahwa ada satu lukisan yang ditunjukkan kepadanya oleh Ing Tjiong melalui sebuah katalog. Kemudian Ing Tjiong bertanya kepada Rose, “Ini ibu Rose, kan?” Namun, saat melihat lukisan tersebut, Rose hanya menunjukkan ekspresi terkejut dan bingung karena merasa itu bukan dirinya. Rose kemudian menjawab, “Kayaknya bukan deh, Tjiong.”
Lukisan tersebut berjudul Sabda Alam (1961). Dalam wawancaranya, Ibu Rose mengungkapkan bahwa ia tidak pernah dilukis dengan pose seperti itu. Setelah diperlihatkan lukisan tersebut, ia bahkan enggan masuk ke dalam museum karena takut ditanya-tanya oleh wartawan, sebab sosok yang ada di lukisan tersebut bukanlah dirinya.
Beberapa hari kemudian, Ibu Rose kembali melihat lukisan tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Oei Hong Djien berjudul Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia.Dalam buku itu terdapat deskripsi tentang lukisan tersebut yang berbunyi:
“Lukisan Nude Sudjojono tidak sekadar menggambarkan ketelanjangan secara fisik, tetapi juga mengandung unsur romantis dan puitis. Sabda Alam (1961, Gb. 36) memperlihatkan Rose muda yang baru bangun pagi, dalam keadaan telanjang berdiri di belakang jendela kaca, membuka tirai yang transparan. Ia tertegun oleh keindahan alam luar. Di kanan terlihat sebagian tempat tidur yang masih berantakan, dan di kiri ada keranjang rotan berisi pakaian.”

Lukisan S.Sudjojono, Sabda Alam (1961)
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia
Setelah membaca tulisan tersebut di dalam buku, Ibu Rose merasa cukup heran. Bagaimana mungkin Oei Hong Djien bisa mengetahui cerita sedetail itu? Bagaimana mungkin dia tahu bahwa Ibu Rose bangun tidur dalam keadaan telanjang? Bagaimana Oei Hong Djien bisa mengetahui hal-hal yang sangat pribadi dan detail seperti itu? Ibu Rose juga mengatakan bahwa ia tidak ingat kapan tepatnya ia mengenal Oei Hong Djien. Sepengetahuannya, ia tidak pernah bertemu dengan Oei Hong Djien saat Pak Djon (Sudjojono) masih hidup.
Hal yang terjadi pada keluarga Soedibio dan Sudjojono juga dialami oleh keluarga Hendra Gunawan. Lukisan-lukisan Hendra Gunawan yang dipajang di Museum OHD memiliki ukuran sangat besar, yaitu sekitar 2,5 meter. Beberapa lukisan yang dipajang antara lain: Gemah Ripah Loh Jinawi (1951), Penjual Es Lilin (1970), Berjudi (1975), Pesta Kemenangan (1978), Perayaan 17 Agustus (1980), Penarik Gerobak (1980), Pasar Malam (1981), Perang Buleleng di Bali (1982), dan Panen Padi (1980).

Lukisan Hendra Gunawan, Penarik Gerobak (1980)
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia
Amir Sidharta, seorang auctioneer profesional, juga memberikan komentar bahwa lukisan-lukisan Hendra Gunawan yang ada di Museum OHD sangat meragukan keasliannya. Amir berpendapat bahwa permintaan terhadap lukisan Hendra Gunawan memang sangat tinggi, tetapi jumlah lukisan yang tersedia sangat terbatas, sehingga memungkinkan banyak beredar lukisan palsu. Amir juga menambahkan bahwa lukisan Hendra dengan ukuran besar jarang ditemukan di pasar, namun ketika lukisan Hendra mulai booming pada tahun 2005, banyak orang datang menawarkan lukisan tersebut dan menimbulkan keraguan di kalangan kolektor dan pengamat seni.
Selain Amir Sidharta, Astri Wright, seorang ahli lukisan Hendra Gunawan asal Kanada, juga memberikan komentar bahwa ia sering menerima pertanyaan mengenai keaslian lukisan dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, bahkan Eropa, yang sayangnya mayoritas merupakan lukisan palsu. Astri juga menyampaikan bahwa hampir semua lukisan Hendra Gunawan yang dibeli setelah tahun 1988 kemungkinan besar adalah palsu.
Majalah Tempo akhirnya melakukan investigasi terkait apakah Hendra Gunawan memang sering melukis karya berukuran besar. Mereka mencari seseorang yang pernah menjaga Hendra saat menjadi tahanan di Penjara Kebon Waru, Bandung, dari tahun 1965 hingga 1978. Tempo pun berhasil menemui seorang Bintara bernama Pak Us, yang menjaga Hendra selama di penjara tersebut.
Pak Us sering mengawal Hendra keluar penjara untuk membeli cat merek Kuda Terbang di salah satu toko besi di kawasan Bandung. Menurut penuturan Pak Us, Hendra jarang sekali membuat lukisan berukuran besar karena pada zaman itu mencari kanvas sangat sulit. Hendra sering menggunakan karung goni sebagai pengganti kanvas. Selain itu, ketika keluar dari sel tahanan, Hendra sering membawa lukisan kecilnya untuk ditukar dengan gula, kacang, dan kopi di sebuah toko di pengkolan Cikaso.
Menurut Pak Us, satu-satunya peristiwa di mana Hendra melukis dengan ukuran besar melebihi 2,5 meter adalah ketika ia menerima pesanan untuk mengisi ruang aula Polisi Militer di Jalan Jawa. Pak Us tidak ingat judul lukisan tersebut, tetapi berdasarkan informasi dari salah satu pedagang lukisan di Bandung, lukisan itu berjudul Kartosuwiryo, Pasukan Garuda di Kongo, Peristiwa Lubang Buaya, dan Trikora Kalimantan Utara.
Di lain waktu, anak kedua Hendra Gunawan dari istri pertamanya, Karmini, melihat salah satu foto dalam buku karya OHD yang berjudul Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia dan memperhatikannya dengan seksama. Dalam buku tersebut terdapat foto ayahnya yang mengenakan baju batik dan celana panjang warna gelap, sedang duduk santai di atas ubin. Tubuhnya bertumpu pada tangan kanan, dengan kaki kanan terlipat ke dalam. Tangan kirinya bertengger pada lutut kaki yang dilipat ke atas. Sepasang sandalnya tergeletak di depannya.
Di belakangnya terlihat patung-patung kecil berderet di atas meja berkaki pendek yang menempel di dinding. Di atas meja tersebut tergantung sebuah lukisan berukuran 200 x 350 cm berjudul Penarik Gerobak. Keluarga Hendra meragukan keaslian foto tersebut, karena menurut mereka, lukisan itu tidak pernah ada di penjara. Salah satu anak Hendra yang bernama Rosa mengatakan bahwa seharusnya lukisan yang ada di dalam foto itu bukanlah lukisan tersebut.
Rosa menunjukkan sebuah foto berwarna sepia yang ia ambil dari kamarnya kepada tim redaksi Tempo. Menurutnya, foto itu merupakan repro dari foto asli yang dipinjamnya dari Nuraini, istri kedua Hendra Gunawan sekaligus ibu tiri Rosa. Rosa sempat didatangi oleh dua orang yang mengaku sebagai utusan dari seorang kolektor besar di Magelang yang sedang melakukan riset tentang Hendra Gunawan. Mereka memberikan kertas berisi pertanyaan-pertanyaan dan menunjukkan foto makam Hendra untuk meyakinkan Rosa. Setelah itu, Rosa meminjamkan beberapa foto kepada mereka. Semua foto tersebut berwarna hitam putih dan merupakan dokumentasi saat Hendra berada di penjara.


Foto Hendra Gunawan (kiri) foto yang diduga montase & Foto Hendra Gunawan (kanan) merupakan foto asli.
Sumber: Buku OHD: Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia & Tempo Edisi 25 Lukisan Palsu Sang Maestro Edisi 25, 1 Juli 2012
Setelah sekian lama, foto-foto yang dipinjamkan akhirnya dikembalikan kepada Rosa. Namun, satu foto hilang. Foto yang hilang itu adalah foto Hendra Gunawan yang sama dengan yang ada di buku karya OHD, hanya berbeda pada latar belakangnya. Pada foto asli yang dimiliki Rosa, latar belakangnya adalah lukisan Pandawa Dadu. Beruntung, Rosa masih memiliki salinan foto-foto tersebut yang telah ia buat sejak tahun 1998, sehingga kehilangan foto itu tidak terlalu merugikan.
Dari berbagai suara yang datang, baik dari keluarga para seniman maupun dari para ahli, kritikus, dan kurator seni, semuanya meminta agar karya-karya yang dipajang di Museum OHD diturunkan. Namun, permintaan tersebut tidak diindahkan oleh Oei Hong Djien. Ia tetap kukuh pada pendiriannya bahwa koleksi yang dipamerkan adalah asli, meskipun ia tidak pernah meminta persetujuan dari keluarga seniman maupun melakukan uji laboratorium untuk memastikan keaslian karya-karya tersebut.
Cita-cita mulia untuk mengenalkan lima maestro seni rupa Indonesia kepada publik seketika berubah menjadi sebuah misi yang merusak masa depan seni rupa nasional. Museum OHD justru menjadi wadah bagi lukisan-lukisan palsu yang beredar dan dijual oleh penjual lukisan nakal.
Sikap seperti ini tidak hanya merugikan keluarga para seniman, tetapi juga para pecinta seni yang membeli karya di pasar, para pedagang yang menjual karya asli, serta merusak ekosistem pasar seni rupa di Indonesia yang masih dalam tahap berkembang.